Archive for Mei 2015

Sering dikatakan dimana ada Syiah, disitu ada konflik sektarian, disitu ada pertumpahan darah. Padahal keberadaan Lebanon, adalah bukti nyata batilnya pernyataan tersebut.

Ini fakta-fakta Lebanon:

Diperkirakan muslim di Lebanon ada 59 % yang hampir seimbang antara Sunni dan Syiahnya. 40% Kristiani dengan beragam sektenya, dan 1% Yahudi.

Dengan jumlah yang hampir berimbang, antara Sunni dan Syiah, di Lebanon tidak pernah terjadi konflik karena perbedaan mazhab. Jadi dusta, kalau dikatakan Sunni dan Syiah identik dengan perseteruan dan perselisihan. Mereka memiliki masjid yang jamaahnya campur baur Sunni dan Syiah, kadang Syiah yang mengimami Sunni, kadang Sunni yang mengimami Syiah. Jum’at ini ulama Syiah yang menjadi khatib, giliran berikutnya ulama Sunni yang menjadi khatib.

Jabatan-jabatan tinggi dipemerintahan pun dibagi merata. Presiden Lebanon dari Kristen Katolik, Perdana Menteri Muslim Sunni, Wakil Perdana Menteri Kristen Ortodoks, dan ketua Parlemen Muslim Syiah.

Sunni di Lebanon tidak sebagaimana sebagian kecil Sunni di Indonesia, yang baru dipimpin oleh seorang Kristiani di tingkat provinsi, sudah merasa mau kiamat, dan menyebutnya tanda kehancuran Islam. Sunni di Lebanon juga tidak panik dan merasa terancam aqidahnya meski yang menjadi ketua Parlemen Muslim Syiah. Dr. Jalalluddin Rahmat [Dewan Syura IJABI] yang baru sekedar menjadi anggota parlemen, segelintir kecil Sunni [baca: takfiri] sudah meradang luar biasa.

Di Lebanon ada Hizbullah, sekjennya Sayid Hasan Nashrullah. Sebuah ormas militan Syiah di Lebanon. Mereka bukan sekedar ormas yang bergerak dibidang keagamaan, pendidikan dan budaya, namun juga memiliki pasukan tempur yang disegani. Mereka bersenjata layaknya militer. Meski memiliki popularitas yang lebih tinggi dibanding presiden Lebanon, Sayyid Hasan Nashrullah tidak pernah mengganggu kedudukan Presiden, tidak pula berniat menjatuhkannya, padahal sangat bisa bila dia mau. Presiden Lebanonpun yang Kristiani, dan Perdana Menteri yang muslim Sunni tidak menganggap Hizbullah sebagai ancaman, meski Hizbullah itu Syiah. Mereka kerap hadir di pertemuan-pertemuan penting Hizbullah, termasuk mendengarkan pidato Sayyid Hasan Nashrullah, yang berpidato layaknya seorang presiden.

Dengan fakta-fakta ini, maka tidak benar tuduhan bahwa kalau Syiah kuat, maka mereka akan merebut kekuasaan. Apa yang mencegah Hizbullah untuk merebut kekuasaan di Lebanon sementara mereka memiliki kekuatan dan dukungan besar rakyat? Jangankan sekedar merebut kekuasaan, menghadapi Israel saja mereka berani dan mau ambil resiko. Apa mau menyebut Hizbullah bukan Syiah militan?. Kalau Hizbullah, tidak militan, Syiah yang seperti apa yang bisa disebut Syiah militan. Orang-orang Hizbullah itu membawa senjata kemana-mana.   

Maka tidak benar tuduhan bahwa kalau non muslim yang menjadi presiden atau pemimpin, maka akan membawa bencana dan kerugian bagi umat Islam. Toh Muslim Lebanon aman-aman saja dipimpin seorang Kristiani, dan sang Presiden juga meski non muslim tidak pula mengeluarkan kebijakan yang merugikan umat Islam. Tidak benar pula bahwa kalau Syiah yang menjadi ketua Parlemen, akan mengeluarkan UU dan aturan yang akan merugikan kelompok Sunni.

Lebanon menjadi saksi, bahwa tidak benar perbedaan agama dan mazhab adalah malapetaka bagi suatu bangsa.


Lebanon telah menjadi bukti dan saksi bagi sejarah. Persatuan adalah kekuatan, dan perbedaan adalah kekayaan.









“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [Qs. An-Nuur: 32]
Perintah Al-Qur’an diatas, diperhatikan betul oleh Ayatullah Sayid Ali Khamanei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Atas intruksinya, pemerintah Iran menetapkan aturan agar universitas-universitas/lembaga-lembaga pendidikan se Iran tiap tahunnya, bukan hanya melenggarakan upacara wisuda, namun juga penyelenggaraan pernikahan massal antar mahasiswanya. Istilahnya dalam bahasa setempat, Izdewaj Daneshjui, pernikahan mahasiswa.
Biasanya pendaftaran untuk pernikahan mahasiswa telah dibuka satu tahun sebelumnya, syaratnya hanya memperlihatkan kartu mahasiswa, tanpa perlu memikirkan biayanya. Penyelenggaraan pesta pernikahan diselenggarakan secara massal, dan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, termasuk pengurusan buku nikahnya. Ada hadiah khusus jika pasangan berasal dari institusi pendidikan yang sama. Jadi tetap terbuka, buat mahasiswa yang memilih pasangan bukan dari almamaternya atau bukan mahasiswa.
Pesta pernikahannya memilih hari khusus, biasanya hari wiladah Sayyidah Fatimah az Zahra yang di Iran ditetapkan sebagai hari Perempuan, atau hari pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Sayyidah Khadijah Sa atau hari pernikahan Imam Ali As dengan Sayyidah Fatimah az Zahrah yang ditetapkan di Iran sebagai hari kasih sayang.
Sebagai Republik Islam, Iran mengambil tanggungjawab atas rakyatnya. Termasuk dalam hal menanggung biaya pernikahan. Ditiap kota terdapat Kantor Urusan Pernikahan, semacam KUA di Indonesia, yang membuka layanan pendaftaran bagi yang mau menyelenggarakan pesta pernikahan dengan biaya ditanggung pemerintah. Nabi Muhammad Saw sangat tegas dalam urusan pernikahan, yaitu harus dipermudah pelaksaannya. Karena jika pintu pernikahan dipersulit, maka pintu perzinaan akan terbuka lebar, namun jika pintu pernikahan dibuka selebar-lebarnya, maka pintu perzinaan akan tertutup dengan sendirinya, kecuali memang oleh pelaku perbuatan keji.
Berikut diantara foto2 penyelenggarakan pernikahan mahasiswa di sejumlah Universitas di Teheran.














Tujuh Fakta Syiah di Arab Saudi

Rabu, 27 Mei 2015
Posted by ismailamin
Pertama, ada Syiah Imamiyah [sebagaimana yang dianut mayoritas warga Iran] di Saudi. Tersebar di banyak kota, termasuk Madinah, namun mayoritas bermukim di kota Qatif, Ahsa dan Damam. Jumlahnya kisaran 10-15% dari total penduduk Arab Saudi. Sekitar 3-4 juta jiwa penduduk Saudi bermazhab Syiah. Sementara Syiah Zaidiyah bermukim diwilayah selatan Arab Saudi, yang berbatasan langsung dengan Yaman. Mereka mayoritas di kota Najran. Syiah Ismailiyah juga terdapat dibagian selatan Arab Saudi, namun jumlahnya sangat sedikit.

Kedua, sebagaimana warga muslim lainnya, Syiah juga memiliki masjid, sekolah agama dan Husainiyah untuk melakukan aktivitas keIslaman bercorak Syiah. Meskipun tetap mendapat tekanan dan batasan, namun secara umum Syiah Saudi bebas secara terbuka menyampaikan ajarannya dimimbar-mimbar termasuk dalam mempublikasikan karya-karyanya namun tetap terbatas hanya dikomunitas Syiah dan tidak bebas diperjual belikan di komunitas non Syiah Saudi. Tidak jarang, masjid Syiah disegel pihak keamanan, atau khatibnya dipenjarakan, karena dianggap memprovokasi warga untuk menentang kerajaan. Namun aturan ini tidak hanya berlaku untuk Syiah, tidak sedikit ulama Wahabipun dipenjara oleh rezim dengan tuduhan mengganggu stabilitas negara. Diantaranya Syaikh Salman al Audah dan Syaik ‘Aidh al Qarni [penulis La Tahzan] pernah merasakan dinginnya jeruji besi, padahal keduanya bukan Syiah. Sementara ulama terkenal Syiah yang masih mendekam dipenjara sampai saat ini adalah Syaikh Nimr Baqir al Nimr.

Ketiga, dihari-hari tertentu, yang dianggap istimewa oleh Syiah, mereka melakukan majelis-majelis keagamaan. Termasuk pada hari Asyura. Meski karnaval peringatan Asyura dilarang dilakukan diareal terbuka, namun mereka tetap bisa melakukan di ruangan tertutup, dan yang hadir sampai ribuan orang untuk mendengarkan ceramah-ceramah bertemakan Asyura dari ulama dan muballigh Syiah. Dan ketika peringatan Asyura berlangsung, tidak ada diluar ruangan tersebut yang melakukan aksi demonstrasi minta acara Asyura itu dibubarkan, sebagaimana di Indonesia.

Keempat, Masjid Nabawi dan areal Baitullah terbuka untuk Syiah. Tidak ada larangan bagi mereka untuk memasukinya, yang menunjukkan fakta tidak terbantahkan bahwa mereka tetap dianggap muslim oleh otoritas Saudi. Merekapun secara terbuka bebas melakukan tata cara shalat ala Syiah tanpa larangan, termasuk menyelenggarakan doa Kumayl bersama di areal masjid Nabawi setiap malam Jum’at. Syiahpun bebas keluar masuk disemua masjid diseantero Arab Saudi untuk shalat. Syiah bebas untuk bergabung dalam jamaah shalat, meskipun imam shalatnya Wahabi sekalipun, berbuka bersama saat Ramadhan dan mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan. Tidak ada satupun masjid di Arab Saudi yang memasang spanduk Syiah bukan Islam atau menetapkan aturan Syiah dilarang masuk masjid, tidak sebagaimana yang dilakukan disebagian kota tertentu di Indonesia, yang memasang spanduk anti Syiah dan mengharamkan Syiah mendekati masjid.

Kelima, meski Syiah secara umum ditekan rezim Saudi agar tetap berada digaris ekonomi menengah kebawah, namun tidak sedikit Syiah Saudi yang kaya dan menjadi pengusaha. Termasuk salah satu tokohnya diangkat sebagai menteri di kerajaan Arab Saudi. Anak yatim, janda dan fakir miskin tetap dapat santunan dari Kerajaan, apapun mazhabnya, termasuk warga Syiah. 

Keenam, untuk mencegah tersebarnya dakwah Syiah, otoritas Saudi melakukan pelarangan ketat, agar Syiah hanya diberlakukan dikomunitas Syiah, dan dilarang tegas menyebarkannnya kepada komunitas Sunni. Mufti-mufti Wahabi Saudi maupun para muballighnya secara demonstratif sering mengungkap kesesatan-kesesatan Syiah dimimbar-mimbar namun tidak sampai mengkafirkan secara terang-terangan meskipun mereka meyakini demikian. Media-media Arab Saudi tidak pernah menyebut masjid Syiah sebagai kuil, atau menyebut ulama dan muballigh Syiah sebagai pendeta atau pastor ketika memberitakan kegiatan-kegiatan atau informasi mengenai Syiah, tidak sebagaimana yang sering tertulis secara provokatif dimedia-media anti Syiah di Indonesia.

Ketujuh, Syiah hidup normal di pemukiman-pemukiman mereka, tanpa gangguan, apalagi pengusiran. Tidak ada warga Saudi yang Syiah harus mengungsi di negerinya sendiri, karena kampung, masjid dan rumah-rumah mereka dibakar. Aksi bom bunuh diri di masjid Syiah, yang menewaskan puluhan orang jamaah shalat Jum’at, mendapat kecaman otoritas Arab Saudi dan akan mengusut tuntas pelakunya. Sekali lagi, media-media Saudi menyebut yang diledakkkan itu masjid, bukan kuil.

Jadi, aksi demonstrasi menentang peringatan Asyura, pemasangan spanduk anti syiah dimasjid-masjid, penyebutan kuil pada masjid Syiah, penyebutan pendeta/rahib pada ulama dan muballigh Syiah, pengusiran satu kampung warga Syiah sehingga menjadi pengungsi, itu hanya ada di Indonesia. Entah belajar dan mencontoh darimana?.

Ismail Amin, sementara menetap di Qom-Iran

 Aksi demonstrasi menuntut pembebasan ulama Syiah Saudi yang ditangkap





Upacara pemakaman korban peledakan masjid Imam Ali As di Qatif


Suasana shalat berjama'ah Sunni-Syiah di salah satu masjid di Arab Saudi


 Jamaah Syiah pada peringatan Asyura disalah satu Husainiyah di Madinah


 Pembacaan Doa Kumayl Muslim Syiah di pelataran Masjid Nabawi Madinah



Syiah, Shalat Tiga Waktu Benarkah?

Jumat, 15 Mei 2015
Posted by ismailamin
Ini satu lagi fitnah paling konyol. Katanya, Syiah itu shalatnya hanya tiga waktu. Yaitu, Subuh, Dhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya. Dhuhur dan Ashar dikerjakan bersamaan disatu waktu, begitu juga Maghrib dan Isya. Padahal tetap lima waktu juga.

Rinciannya begini. Subuh dikerjakan waktu subuh. Dhuhur waktu dhuhur, Ashar waktu ashar, maghrib waktu maghrib dan isya waktu isya. Dhuhur dikerjakan sebelum asar, maghrib sebelum isya. Tidak bisa waktu ashar dikerjakan di waktu dhuhur begitupun sebaliknya. Jadi waktu shalat dhuhur tetap beda dengan waktu shalat ashar, tidak satu waktu. Dan tidak dikerjakan bersamaan (bagaimana ya niat shalat bersamaan itu?)

Jadi isu tiga waktu itu dari mana?

Dari kesalahpahaman, dan kurang mengertian mengenai hukum Islam.

Tapi saya lihat, teman saya yang Syiah memang shalatnya digabung dhuhur dan ashar kok. Begitu selesai shalat duhur terus berdiri lagi untuk shalat ashar.

Iya, bukan berarti dhuhur dan ashar itu jadi satu waktu. Yang dikerjakannya itu namanya menjamak shalat.

Begini  penjelasan sederhananya.

Islam itu agama yang mudah. Agama ini datang untuk mempermudah urusan-urusan manusia. Mendukung manusia mengejar dan menikmati dunianya, namun juga meminta agar manusia tidak lalai dengan persiapan bekal untuk kehidupan akhiratnya. Begini Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian." (Qs. Al-Baqarah: 185).

Di bagian lain, "Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan." (Qs. Al Hajj: 78). Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam, menjadikannya anugerah paling indah untuk hamba-hambaNya yang beriman, dengan aturan yang simple, mudah, praktis dan fleksibel. Islam adalah agama paripurna yang telah dipersiapkan sejak zaman Nabi Saw untuk menjawab tuntutan zaman sampai hari kiamat.

Allah membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban plus disertai dengan rukhsah(keringanan) untuk memudahkan manusia melakukannya.  Nabi Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan2Nya, sebagaimana Dia senang memberikan keharusan2Nya." Allah memerintahkan sesuatu dilengkapi dengan kaidah, "Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupannya." (Qs. Al-Baqarah: 286). Artinya, amalan apapun yang diperintahkan Allah kita pasti bisa mengerjakannya, jika menghadapi kondisi dimana kita berat melakukannya, maka Allah memberikan keringananNya.

Jikapun Tuhan sampai tega membuangmu kedalam jurang, sebelum sampai ke dasar, ia sudah memberimu sayap.

Kaidah itu yang harus kita pegang.

Contohnya begini:

Allah mewajibkan puasa di bulan Ramadhan. Namun ketika kita kesulitan melakukannya dengan baik, apa karena sedang sakit atau sedang melakukan perjalanan. Maka Allah memberikan keringanannya. Kerjakan di hari lain,diluar Ramadhan yang kita sanggup melakukannya. Kita tidak bisa shalat sambil berdiri, bisa dikerjakan sambil duduk. Tidak bisa juga dibolehkan sambil baring. Begitu seterusnya, sampai ketika benar-benar tidak bisa lagi shalat, maka dishalati. Yang sedang buru-buru dan tergesa-gesa, baik karena perjalanan atau karena kondisi perang, maka shalat 4 rakaat bisa dikorting dan cukup dikerjakan dengan dua rakaat saja. Intinya, keharusan Allah itu harus dikerjakan. Tidak sampai ditinggalkan. Selagi mampu mengerjakannya.

Nah begitupun dengan shalat. Shalat amalan paling utama dalam Islam. Yang paling tampak membedakan muslim dan non muslim adalah shalatnya. Shalat telah ditetapkan rukun-rukunnya. Telah ditentukan waktu-waktunya. Mengerjakan shalat diluar waktunya, terhitung dosa. Bahkan bisa mencelakakan pelakunya. "Celakalah mereka yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya." (Qs. Al-Maun: 4-5). Ulama tafsir menafsirkan diantara maksud lalai dalam shalatnya adalah mengerjakan shalat diluar waktunya. Misalnya shalat subuh mendekati dhuhur, atau shalat ashar setelah maghrib dst. Nah, yang tetap mengerjakan shalatnya hanya karena diluar waktunya tetap kecelakaan baginya, bagaimana dengan yang meninggalkan shalat sama sekali?.

Karena itu, Islam bijak dalam hal ini. Untuk tidak sampai meninggalkan shalat, ataupun shalat diluar waktu, maka Islam memberi beberapa keringanan. Diantaraya adalah menjamak shalat.

Menjamak shalat selama ini kita ketahui hanya untuk mereka yang memiliki uzur diantaranya karena sakit, dalam perjalanan (musafir), dalam kondisi takut ataupun Karena hujan (bagi yang rutin shalat berjama'ah di masjid dan masjidnya lumayan jauh).  Nah ada satu kondisi lagi yang kebanyakan kita jarang mengetahuinya. Yaitu, menjamak shalat tanpa uzur. Benarkah?.

Imam Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya, Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Nabi Saw menjamak shalat Dhuhur dan Ashar, menjamak Maghrib dan Isya, tidak dalam keadaan takut, dan tidak pula dalam keadaan safar." (Shahih Muslim jus I, bab Jamak antara Dua shalat dalam keadaan hadir, hadits no. 1146).

Pada hadits nomor selanjutnya, riwayat dengan teks yang hampir sama dengan tambahan, "Abu Zubair berkata, saya bertanya kepada Sa'id, kenapa Nabi melakukan demikian?. Ia menjawab, "Akupun pernah bertanya demikian kepada Ibnu Abbas, dan beliau menjawab, Nabi menghendaki agar tidak ada seorangpun dari ummatnya yang terbebani." (hadits no. 1147).

Teman2, betapa banyak dari kita melalaikan shalat karena merasa terbebani. Polisi, dokter, dosen, tukang bengkel, bankir, peneliti di laboratorium, mahasiswa, tukang sampah, pedagang, penjaga pom bensin, tukang becak, nelayan, sopir dan seterusnya yang akhirnya meninggalkan shalat karena kesulitan dalam mengatur waktunya. Terutama bagi muslim yang tinggal dinegri2 non muslim yang tidak memperhatikan waktu2 shalat dalam penentuan jadwal2 kantor, rapat, sekolah dst. Dokter yang harus mengobati pasien dari jam 11 sampai jam 16, akhirnya merasa terlalaikan dari waktu shalat dhuhur dan kemudian meninggalkannya sama sekali. Begitupun dengan sopir, polisi, ataupun pejabat yang lagi sibuk rapat dan pertemuan2 penting. Padahal agama ini memberikan keringanannya. Yaitu dengan menjamak shalat, hatta sedang tidak memiliki halangan sekalipun, kalau kau suka kerjakanlah dengan cara demikian. Meskipun ulama menyatakan tetap lebih utama mengerjakan pada waktunya masing-masing sebagaimana yang telah ditetapkan.

Nah, namun mengapa Syiah sering melakukannya? Bahkan melakukan itu tiap hari? Setiap shalat pasti dijamak?. Jawabannya. Pertama, Allah suka pada hambaNya yang memanfaatkan dispensasi yang diberikanNya.  Itu artinya, menghargai keringanan dan kemudahan yang diberikan. Kedua, kita hidup di era yang memang menjebak kita untuk memanfaatkan keringanan itu. Mahasiswa yang punya kelas dari jam 2 siang sampai jam 5 sore. Dia bisa shalat dhuhur di masjid, kemudian melanjutkannya langsung dengan shalat ashar. Sehingga ketika di kelas, tidak disibukkan lagi dengan pikiran waktu shalat ashar yang hampir habis, atau ingin shalat ashar awal waktu. Seorang karyawan kantorpun demikian. Dan seterusnya.

Ada undangan kenduri  ataupun rapat yang dimulai dari jam 5 sore sampai jam 7 malam, dan baru bisa kembali di rumah jam 8 malam. Bisa mengerjakan shalat jam 8 malam itu, maghrib dan dilanjutkan dengan shalat isya. Mungkin ada yang mengatakan, bukankah ini mengentengkan shalat? Bukankah itu lebih mengutamakan kehidupan duniawi?

Jawabannya adalah, inilah yang diajarkan Nabi bagi umatnya, bahwa jangan sampai shalat itu dilalaikan dan ditinggalkan sama sekali. Shalat bukanlah kendala dan beban ditengah kesibukan aktivitas sehari-hari. Karenanya, Islam memberi kelonggaran dan keringanan dalam pelaksanannya. Yang disebut mengentengkan shalat adalah yang mengerjakan diluar waktu atau bahkan meninggalkannya sama sekali. Yang diperiksa pertama kali di hari penghisaban adalah amalan shalat, kalau itu rusak, amalan kebaikan apapun yang lain tidak masuk hitungan.

Bagaimana di Iran?. Di Iran masjid2 mengerjakan shalat dhuhur dan ashar dengan cara dijamak secara berjama'ah. Demikian pula untuk maghrib dan isya. Akan sangat menyulitkan bagi warga muslim Iran jika dikerjakan terpisah sebagaimana di Indonesia. Sebab di Iran jika musim panas seperti sekarang, panasnya berkisaran 40-50 derajat celcius. Dan kalau musim dingin, ya suhunya bisa dibawah nol, syukur2 kalau tidak turun salju. Jadi sebuah keringanan bagi yang gemar mengerjakan shalat di masjid. Bayangkan, kalau shalat dhuhur jam 1 siang. Terus ke masjid lagi beberapa jam kemudian untuk shalat ashar sementara suhunya panasnya bukan main. Begitu juga  untuk maghrib dan isya.  Dimusim panas, waktu malamnya menjadi lebih pendek.

Tapi bukankah di negara2 Arab, Mesir, Saudi, Qatar dst meskipun dalam keadaan panas, tetap memisahkan shalat dhuhur dan ashar?.

Sekali lagi jawabannya, kalau ada kemudahan yang diberikan, mengapa mempersulit diri. Intinya shalat demikian sah, absah dan pernah dicontohkan Nabi. Laa dharara wa laa dharira, tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan tidak memboleh mencelakakan orang lain, begitu sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.

Ibnu Abbas ra, berkata, Nabi pernah menjamak shalatnya, karena menginginkan agar shalat tidak menjadi beban pada ummatnya kelak. (catat kata2 ini: UMMATNYA KELAK)

Riwayat-riwayat tentang bolehnya menjamak shalat tanpa uzur (halangan) dari shahih muslim, juga ada di shahih bukhari. Semua mazhab membenarkannya, bukan hanya syiah. Karenanya sebagai sunnipun, absah melakukannya tanpa perlu beban teologis apa2. Lucu kan, kalau keringanan dari Allah dan sunah Nabi yang bersemangat mengamalkannya justru kelompok yang dituding sesat?.

Kita adalah ummat Nabi, yang Nabi kehendaki jangan sampai seorangpun merasa terbebani. Jika leluasa mengerjakan secara terpisah maka kerjakanlah, namun jika terbebani dengan itu, maka jamaklah. Tidak terbebanipun, tetap boleh melakukannya. Intinya, jangan sampai meninggalkan shalat dan melalaikan waktunya.
Begitu…

Ket. Tambahan:
Jadi kita bisa rincikan sbb:

-Waktu shalat subuh, dari azan subuh sampai terbitnya matahari
-Waktu shalat dhuhur dari  azan dhuhur sampai sebelum shalat ashar
-Waktu shalat ashar dari setelah shalat dhuhur sampai menjelang maghrib
-Waktu shalat maghrib dari azan maghrib sampai sebelum shalat isya
-Waktu shalat isya setelah shalat maghrib sampai pertengahan malam
Jamak ada dua, jamak taqdim (mengerjakan di awal waktu) dan jamak takhir (dikerjakan di akhir waktu)

Tidak bisa menjamak semua shalat dalam satu waktu. Yang bisa dijamak hanya dhuhur dengan ashar, dan maghrib dengan isya.

Note ini bukan untuk mensupport yang suka menunda-nunda shalat. Saya yakin semua juga tahu, menunda-nunda melakukan amal kebaikan itu tdk disenangi, apalagi kalau amalan itu hukumnya diwajibkan, dan tentu akan dimurkai jika ditinggalkan. 


Semoga bermanfaat…
Qom, 17 Ramadhan 1434 H
Dari Sabrah r.a katanya, “Bahwa Rasulullah saw pada permulaan penaklukan kota Makah telah menganjurkan nikah Mut’ah kepada anggota pasukan kami. Tetapi kemudian sebelum meninggalkan kota itu, beliau telah melarangnya pula.”

(Shahih Muslim Jilid II, bab Perkawinan)

Semua mazhab dalam Islam sepakat, Nikah Mut'ah (selanjutnya kita sebut MT) pernah dihalalkan Nabi bahkan dianjurkan. Sehingga dipraktikkan oleh sejumlah sahabat. Semua meyakini itu. Bedanya, Ahlus Sunnah dengan riwayat-riwayat yang mereka shahihkan menyebutkan MT telah dilarang dan diharamkan sampai kiamat oleh Nabi Saw sendiri. Kapan pengharaman itu dilakukan? Dalam Shahih Muslim disebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan versi yang berbeda: Diharamkan saat peperangan penaklukan kota Mekkah, pada saat haji wada dan pada perang Khaibar. (Baca Shahih Muslim Jilid II bab Perkawinan). 

Kesemua riwayat tersebut disebut shahih. Sementara versi Syiah, adanya kesimpangsiuran riwayat pengharaman MT tersebut menjadi hal pengharamannya diragukan, sebab diliteratur lain, yang mengharamkan justru Khalifah Umar bukan Nabi, dan masih sempat dipraktikkan dimasa kekhalifaan Abu Bakar.

Juga masih dari Shahih Muslim: Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata: “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw, dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya karena kasus Amr ibn Huraits.” [Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi 9,183]

Kesimpulannya: Nikah MT, dianjurkan Nabi dan diamalkan sahabat. Jadi menyebut MT sebagai perzinaan dan praktik pelacuran adalah penghinaan besar terhadap Nabi dan Islam sebab menyebut Nabi pernah menganjurkan perzinahan dan praktik pelacuran untuk diamalkan sahabat-sahabatnya. Nauzubillah. Kalau dalihnya, memang pernah dianjurkan dan setelah itu diharamkan, dan jika melakukan pasca pengharamannya maka itu adalah bentuk perzinahan. Logiskah hal tersebut? Jika itu memang tidak baik, mengapa dianjurkan Nabi, dan kalaupun itu baik, mengapa diharamkan?. Tidak ada kasus dalam Islam sebelumnya dianjurkan kemudian diharamkan, kecuali MT. Sering dijadikan analogi adalah pengharaman khamar yang katanya sebelumnya dihalalkan. Anologi itu salah besar. Islam tidak pernah menganjurkan meminum Khamar, yang ada adalah pengharaman dan pelarangannya yang butuh proses dan waktu. Lihat proses itu:

Pertama, Allah SWT menjelaskan, bahwa dari buah kurma dan anggur manusia bisa membuat minuman yang memabukkan, dan juga bisa menjadikannya sesuatu yang menghasilkan rezeki yang baik. Disini belum ada pelarangannya. Hanya membatas memberi informasi. (Baca Qs. An Nahl: 67)

Kedua, Allah SWT menyebut, minum Khamar ada manfaatnya tapi madharatnya lebih besar. Disini, Allah baru menginformasikan kerugiannya lebih besar. (Baca Qs. Al Baqarah: 219)

Ketiga, Allah melarang minum khamar hanya pada saat akan shalat. Shalat harus dikerjakan dengan khusyuk dan sadar dengan apa yang diucapkan. Shalat dalam keadaan mabuk dilarang. Jadi belum dilarang total. (Baca: Qs. An Nisaa: 43)

Keempat, Allah menjelaskan minum khamar itu perbuatan syaitan. Masih sebatas memberi informasi juga. (Baca: Qs. Al Maidah: 90)

Terakhir, melarang dan mengharamkan, karena minum khamar dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian sesama muslim dan menghalangi dari mengingat Allah. (Baca: Qs Al Maidah: 91)

Mengapa harus melalui lima proses tersebut? Islam itu agama yang hendak memberi kemudahan bagi umat manusia, bukan menjadi malapetaka. Jika Islam sejak awal langsung mengharamkan hal-hal yang telah menjadi tradisi dan mendarah daging dalam masyarakat Arab Quraysh saat itu, maka Islam akan dijauhi, sebab tentu akan sulit bagi mereka langsung meninggalkan yang telah menjadi kebiasaan mereka. Intinya, dari kelima proses pengharaman itu, tidak terdapat penganjuran untuk minum khamar. Tidak juga disebutkan, "Dihalalkan bagi kamu khamar!". Tidak di Qur'an tidak juga di hadits. Yang ada hanya belum haram saja. Nah, kalau nikah MT, kok malah ada pengajurannya?. Lantas kemudian diharamkan alasannya apa? Mengapa tidak dijelaskan Nabi?.

Oleh pakar-pakar Islam kemudian (mungkin malah lebih pakar dari Nabi) katanya diantara alasannya, MT tidak menghormati, pelecehan dan tidak adil terhadap perempuan. Lho, apa Nabi ketika menganjurkannya beliau sedang menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk melecehkan perempuan? Apa ketika Nabi mengizinkan untuk sahabat-sahabat mengamalkannya beliau sedang berlaku tidak adil pada perempuan? Apa ketika nabi membolehkan, tidak sama dengan nabi membolehkan perempuan menjadi bahan murahan dan dipindahtangankan begitu mudah? Bukankah Nabi paling tinggi penghormatannya terhadap kaum perempuan? Atau tidak?

Alasannya lagi: Pembolehan mut’ah membuka peluang bagi pemuda dan pemudi yang bobrok akhlak dan kepribadiannya untuk semakin tenggelam dalam kubangan dosa, sehingga hal tersebut akan merusak citra agama dan orang-orang yang taat beragama. Apa Nabi ketika membolehkan itu bermaksud agar sahabat-sahabatnya tetap bobrok akhlak dan kepribadiannya?

Alasan yang lain: Nikah MT dapat menghancurkan lembaga pernikahan, merusak keutuhan keluarga dan bercampurnya nasab. Apa Nabi ketika mengizinkannya, nabi hendak merusak rumah tangga sahabat-sahabatnya? Hendak membiarkan nasab keturunan sahabatnya bercampur aduk dan jadi tidak jelas?

Katanya, MT dapat menjadi penyebab tersebarnya penyakit menular. Apa Nabi ketika mengizinkan itu tidak tahu efek dari MT sebahaya itu? Atau baru menyadarinya belakangan, makanya kemudian baru diharamkan?. Atau memang dimasa sahabat penyakit itu sudah menyebar karena mereka telah mengamalkannya?

Nabi Saw, adalah utusan Allah, apa-apa yang disampaikannya itu bukan kehendaknya sendiri, melainkan wahyu dari Allah.  Ùˆ ما ينطق عن الهوى ان هو الّا وحي يوحى

Atau kita mau menuduh Allah SWT plin plan dalam memberi hukum?

Tuduhan lainnya, MT itu boleh dilakukan serampangan, modalnya suka sama suka, dengan siapapun bahkan dengan istri orang sekalipun dan tanpa perlu persetujuan wali nikah. Nauzubillah keji benar ya membuat fitnah?.

Nikah MT yang dianjurkan dan dibolehkan dimasa Nabi, hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku berkenaan dengan MT pada masa itu, itu juga yang akan terus berlaku pasca wafatnya Nabi. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang dikurangi, dan tidak ada pula yang ditambah-tambahkan. Apa mau menuduh Nabi menganjurkan sahabatnya menikahi istri sahabatnya yang lain?. Jika ada yang melakukan demikin, maka itu bukan MT namanya, sebab telah menyimpang dari ketentuan syar'i.

Ini diantara syarat-syarat dan ketentuannya, bisa dirujuk di Taudhihul Masail para marja’, jil. 2, hal. 449; Tahrirul Wasilah, jil 2, hal 701, bukan dikonsultasi syariah punya orang-orang yang anti Syiah:

1. Membacakan akad nikah. Jadi kerelaan kedua belah pihak pasangan saja tidaklah cukup. (Akad nikah pun ada tata-caranya).

2. Secara ihtiath wajib akad nikah harus dibacakan dengan bahasa Arab. Namun jika sesorang sama sekali tidak bisa mengucapkannya dengan bahasa Arab, maka dapat membacakan akad ijab dan qabul dengan bahasanya sendiri dengan syarat mengandung ungkapan ijab qabul.

3. Menyebutkan mahar saat akad, dan batas waktu pernikahan dalam mut’ah.

4. Yang membaca akad nikah harus baligh.

5. Perempuan yang hendak dinikahi, jika ia telah baligh, rasyidah (mengerti maslahat dirinya sendiri) dan perawan maka harus meminta izin ayah atau kakeknya. Namun jika ia sudah tidak perawan, dan ketidak perawanannya itu disebabkan ia pernah menikah sebelumnya, maka ijin ayah atau kakek tidak diperlukan.

6. Perempuan yang hendak menikah mut’ah tidak boleh berada dalam tali ikatan pernikahan dengan lelaki lain. Jadi bego yang selalu saja ketika membahas masalah mut'ah langsung bertanya, bolehkah saya menikahi mut'ah ibu dan istrimu?                                                                                                                      
7. Lelaki dan perempuan rela dengan pernikahan dan tidak menikah karena keterpaksaan.                         
   
8. Memiliki masa iddah sama halnya yang berlaku pada nika da'im. 
Jadi dusta, yang selalu mengatakan, perempuan yang dinikahi mut’ah itu seperti [maaf] pelacur, karena bisa gonta-ganti pasangan dalam semalam.. 

Intinya, nikah mut'ah tidak jauh beda dengan nikah poligami. Menerima kehalalannya tidak meniscayakan harus diamalkan. Keputusannya ada ditangan si perempuan. Dia punya hak penuh, mau melakukannya atau tidak. 

Akh, ini saja dulu… semoga bermanfaat.. ^_^
Taqiyyah adalah diantara perkara penting dalam Islam yang senantiasa disalah pahami, terlebih lagi jika dikaitkan dengan Muslim Syiah. Oleh kelompok anti Syiah, taqiyyah diartikan sebagai bentuk amalan yang dilakukan Syiah untuk tujuan menipu, mengecoh, menyembunyikan fakta, berdusta, dan berbagai tindakan memanipulasi hal yang sebenarnya, dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Bahkan oleh mereka, taqiyyah dikaitkan erat dengan bentuk kemunafikan dan tindakan pengecut. Jika misalnya umat muslim Syiah dituduh meyakini adanya tahrif (perubahan) dalam Al-Qur’an dan umat Syiah membantahnya dengan mengatakan bahwa keyakinan mereka sama halnya dengan muslim mazhab lainnya bahwa Al-Qur’an dijaga orisinalitasnya oleh Allah dan suci dari segala bentuk penyimpangan dan perubahan, maka serta merta muslim Syiah dianggap sedang bertaqiyyah dan menyembunyikan keyakinannya dengan menampakkan yang sebaliknya.
Dengan dalih Syiah pasti bertaqiyyah (yang mereka artikan berdusta) menjadi senjata pamungkas bagi kelompok anti Syiah untuk membungkam Syiah ketika hendak menunjukkan ketidak benaran fitnah-fitnah dan tuduhan-tuduhan yang menimpa mereka. Hasilnya, kita melihat, betapa umat Syiah hari ini diserang fitnah-fitnah yang membabi buta dan tuduhan-tuduhan yang bahkan sangat irasional, tanpa merasa perlu membeberkan bukti-buktinya. Bahkan ketika hendak meluruskan pemahaman mengenai taqiyyah sekalipun, muslim Syiah akan serta mendapat tudingan sedang bertaqiyyah (berdusta).
Apakah Taqiyyah itu?
Taqiyyah adalah tindakan yang diambil seseorang untuk menyembunyikan aqidah agamanya yang diyakininya benar dihadapan orang-orang yang membenci dan memusuhi agamanya, yang ketika ia tampakkan, maka itu dapat membahayakan keselamatan jiwa, kehormatan diri dan keluarga serta hartanya. Seperti misalnya, seorang muslim yang hidup ditengah-tengah kaum musyrikin penyembah berhala, yang jika mereka mengetahui keislamannya maka itu  bisa membahayakan nyawanya. Ia bisa saja dibunuh, kehormatannya dilecehkan dan hartanya dirampas. Oleh karena itu, ia bisa mengamalkan taqiyyah, menyembunyikan keimanannya agar bisa hidup aman ditengah-tengah mereka.
Misal lainnya, seorang muslim Syiah yang ketika diperjalanan ia memasuki suatu kampung yang kesemua warganya membenci Syiah dan meyakini, menumpahkan darah seorang pengikut mazhab Syiah halal hukumnya bahkan diwajibkan, maka wajib baginya melakukan taqiyyah dengan menyembunyikan kesyiahannya, sehingga akhirnya ia bisa melewati perkampungan tersebut dengan selamat.
Akal sehat akan memastikan bahwa tindakan tersebut pada pemisalan diatas adalah benar dan sesuai dengan rasionalitas. Bahkan dikatakan, seseorang yang memaksakan dirinya untuk menampakkan keyakinannya ditengah-tengah sekelompok orang yang membenci dan memusuhi keyakinannya sementara ia sendiri mengetahui bahwa hal tersebut dapat mengancam keselamatan dan keamanan jiwanya adalah tindakan konyol. Beda halnya dalam kondisi perang, yang memang satu sama lain, sudah saling mengetahui keyakinan masing-masing dan memang sejak awal berambisi untuk saling menghabisi.
Beda Taqiyyah dengan Nifaq
Secara dzahir memang tampak ada persamaan antara taqiyyah dengan nifaq, yaitu sama-sama menampakkan hal yang sebaliknya dari yang diyakininya, yaitu menyembunyikan apa yang terdapat dalam hatinya. Namun ketika menelisik makna terminologinya, maka perbedaan antara keduanya ibarat langit dan bumi. Munafik adalah seseorang yang didalam batinnya membenci dan memusuhi Islam dan pada hakikatnya tidak meyakini ajaran Islam namun secara lahiriah ia menampakkan diri sebagai muslim untuk tujuan-tujuan tertentu yang negatif. Sementara seseorang yang melakukan taqiyyah adalah untuk menyembunyikan kepercayaannya yang menurutnya benar mengenai Islam ditengah-tengah orang lain yang tidak menerima adanya kepercayaannya itu bahkan meyakini yang memiliki kepercayaan itu halal darahnya untuk ditumpahkan.
Jadi perbedaannya, kalau munafik, menyembunyikan kekufuran dengan menampakkan keimanan yang dengan itu ia dapat mencapai tujuan-tujuannya yang terselubung, sementara taqiyyah, adalah menyembunyikan keimanan dengan menampakkan hal yang sebaliknya dengan tujuan, untuk menyelamatkan jiwanya dan kehormatannya dari hal-hal buruk yang bisa menimpanya, jika ia menampakkan keimanannya.
Taqiyyah dalam Timbangan Akal
Allah Swt membekali makhluk ciptaannya, bukan hanya pada manusia, melainkan juga pada binatang dan tumbuhan mekanisme pertahanan khusus dan naluri untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam. Meskipun taqiyyah adalah tindakan yang dipelajari, namun ia lahir dari insting dan naluri manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan naluri untuk terus hidup yang melekat pada dirinya, seseorang akan menyembunyikan sesuatu yang ada pada dirinya, yang jika itu ia tampakkan akan membahayakan nyawanya.
Memang benar, seseorang bisa saja mengatasi rasa takut dan mengatakan kebenaran meskipun itu membahayakan dirinya, namun setidaknya ia harus memiliki prioritas, kapan kebenaran yang dinyatakan itu mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bukunya Pemerintahan Islam,  Imam Khomeini ra menulis, “Seseorang hanya dibolehkan taqiyyah, jika nyawanya terancam, sedangkan pada kasus dimana agama Allah Swt yaitu Islam dalam keadaan terancam, taqiyyah tidak boleh dilakukan, meskipun ia sampai harus kehilangan nyawanya.”
Ayatullah Makarim Shirazi mengibaratkan taqiyyah seperti perisai yang digunakan untuk menjaga nyawa dari ancaman bahaya. Ibarat seorang tentara yang sedang berada di medan pertempuran, maka ia akan membentuk mekanisme pertahanan  yang dengan itu, ia tetap selamat dari incaran dan ancaman musuh. Seperti menggunakan pakaian tempur anti peluru, bersembunyi dibalik pohon, membuat benteng pertahanan dari karung-karung goni berisi pasir, menggunakan pakaian penyamaran dengan memilih warna yang sama dengan medan tempur dimana mereka berada, hijau jika medannya di hutan belantara, dan cokelat jika medannya di gurun pasir. Apakah dengan membentuk mekanisme pertahanan seperti itu, pasukan tentara yang sedang menghadapi musuh dikatakan tentara pengecut dan tidak berani duel terbuka?. Akal sehat tidak akan menyimpulkan demikian, dan tidak ada seorangpun yang akan menertawakan dan melecehkan apa-apa yang dilakukan tentara tersebut untuk mempertahankan dirinya sebagai tindakan pengecut dan bertentangan dengan keberanian . Tindakan menjaga keselamatan jiwa dengan cara-cara seperti itu adalah tindakan yang logis dan rasional.
Demikian pula seseorang yang menghadapi ancaman bahaya ketika ia menampakkan keyakinannya atau amalan tertentu dari yang diyakininya, maka sudah semestinya ia melakukan taqiyyah. Jadi kritikan terhadap umat Muslim Syiah yang melakukan taqiyyah sebagai tindakan pengecut dan bertentangan dengan keberanian, tentu kritikan yang tidak absah.  Apakah menampakkkan sebaliknya dari yang diyakini itu semua buruk dan dilarang, dan menampakkan keyakinan keseluruhannya, apakah semua baik dan diharuskan? Tentu tidak. Taqiyyah adalah aturan syariat yang Allah Swt karuniakan kepada umat Islam sebagai mekanisme pertahanan diri. Lidah misalnya, diperbolehkan oleh Allah Swt untuk menyatakan yang tidak sebenarnya yang jika dengan itu seorang muslim bisa selamat dari penganiayaan dan pembunuhan.
Taqiyyah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Karena taqiyyah bagian dari syariat Islam, maka muslim dari mazhab manapun bisa mengamalkannya, dan tidak semestinya hanya disematkan kepada umat Syiah saja. Ahlus Sunnah juga membenarkan sikap dusta untuk tujuan kebaikan (taqiyyah), bahkan sebagian ulama Sunni memperkenalkan istilah lain yaitu “tauriyah” (ilmu silat lidah) meskipun subtansi dan alasannya sama. Seperti misalnya yang dilakukan Nabi Ibrahim As, ketika hendak dihukum karena telah merusak patung-patung berhala sesembahan kaumnya, Nabi Ibrahim As berkata, “Sebenarnya patung besar itulah pelakunya.” (Qs. Al Anbiya: 63). Bagaimanapun ucapan Nabi Ibrahim As tersebut adalah kedustaan, namun tujuannya adalah untuk kebaikan, maka diperbolehkan.
Sebagaimana kisah sahabat Ammar bin Yasir ra yang terjebak dalam kondisi sulit ketika mengalami siksaan dan pelecehan dari kaum Kafir Quraysh, sehingga iapun terpaksa menyatakan ucapan kekufuran yang bertentangan dengan keimanan yang terpatri dalam hatinya. Peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya surah An Nahl: 106, “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…”Dalam hal ini, meskipun Ammar bin Yasir mengucapkan kalimat kekufuran, ia tidak dikatakan murtad, karena ia melakukannya dalam keadaan terpaksa, dan diihatinya ia tetap tenang dengan keimanannya. Inilah yang dikatakan taqiyyah, berdusta yang diperbolehkan.
Berikut diantara ayat-ayat lainnya yang menjadi rujukan dalil diperbolehkannya taqiyyah:
Pertama, “…kecuali karena siasat menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (Qs. Ali Imran: 28)
Kedua, “… dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu kedalam kebinasaan.” (Qs. Al Baqarah: 195)
Ketiga, Al-Qur’an menyebutkan, ada diantara dari kalangan Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya,“Seorang Mukmin dari kalangan Fir’aun, yang menyembunyikan keimanannya berkata, Apakah kalian akan membunuh seseorang karena ia mengatakan, Tuhanku adalah Allah?” (Qs. Al-Mu’min: 28)
Keempat, demikian pula taqiyyah yang dilakukan Nabi Harun As ditengah kaumnya yang menindas dan mengancam akan membunuhnya. Kisah ini terdapat dalam surah Al-A’raf ayat 150.
Taqiyyah dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah
Berikut ucapan sejumlah ulama Ahlus Sunnah mengenai kebolehan taqiyyah:
Al Baihaqi meriwayatkan dalam Sunannya, tafsir Ibnu Abbas atas ayat (man ukriha), ia menyatakan, “Adapun orang-orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya karena keimanan demi selamat dari musuhnya, maka hal itu diperbolehkan. Sesungguhnya Allah Swt hanyalah menghukumi keyakinan hatinya.”
Imam al Suyuthi dalam Al-Duur al-Mantsur meriwayatkan hadits dari Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, dari Ibnu Abbas, “Taqiyyah itu dengan lisan, karena takut kepada manusia, sedangkan hatinya teguh dalam iman. Maka hal itu tidak masalah, taqiyyah hanyalah dengan lisan.”
Ibnu Katsir meyakini ijma ulama bahwa taqiyyah diperbolehkan bagi “al-mukrah” (orang yang terpaksa). Ibnu Katsir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang-orang yang dipaksa menyatakan kekufuran, maka diperbolehkan, demi menjaga keselamatan dirinya. Sebagaimana juga boleh menolaknya, sebagaimana sikap Bilal ra.”
Syaikh Hasan al Bashri, “Taqiyyah diperbolehkan bagi orang-orang Mukmin hingga hari kiamat. Pendapat ini lebih kuat, karena mencegah bahaya atas diri sedapat mungkin hukumnya wajib.”
Imam Al Ghazali, “Sesungguhnya menjaga darah orang muslim adalah wajib, maka jika ada orang zalim yang bermaksud menumpahkan darah orang muslim dan ia bersembunyi dari orang yang bermaksud membunuhnya, maka berdusta saat itu adalah wajib.”
Sekarang jelas, tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syiah mengenai taqiyyah. Bedanya, Syiah akrab dengan amalan ini, karena itu taqiyyahpun jadi lebih identik dengan kaum Syiah. Sepanjang sejarahnya, Syiah selalu menjadi kelompok yang tertindas dan teraniaya karena dianggap oposisi bagi kekhalifaan Umayyah dan Abbasiyah. Sementara kaum muslim Sunni lebih memilih untuk bersikap kooperatif dan menjadi bagian dari pemerintahan yang mereka sebut pemerintahan Islam.  Kelompok Salafi sendiri juga mengamalkan taqiyyah dalam kondisi darurat dan terdesak, namun melalui program tarbiyah yang tersistematis oleh ulama-ulama mereka, pengikut-pengikutnya tidak sadar bahwa yang mereka lakukan itu taqiyyah. Seperti misalnya, turut serta memberikan suara dalam pemilu, sementara dalam keyakinan mereka, sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah sistem kufur yang tidak boleh melibatkan diri didalamnya.
Apakah Taqiyyah Hanya Diperbolehkan saat Berhadapan dengan Ancaman Orang Kafir?
Ketika menunjukkan dalil diperbolehkannya taqiyyah dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana misalnya dalam kasus yang dihadapi Nabi Ibrahim As dan sahabat Nabi SAw Ammar bin Yasir ra, maka sering ditanggapi dengan menyatakan, dua dalil tersebut menceritakan taqiyyah yang dilakukan dibawah ancaman pedang kaum Kuffar, sementara taqiyyah yang dilakukan umat Syiah adalah ketika berhadapan dengan umat Islam lain dari mazhab yang beda. Karena tidak ada dalilnya, maka bertaqiyyah dihadapan muslim lainnya, tidak diperbolehkan.
Maka jawabannya, jika taqiyyah diperbolehkan dengan tujuan menjaga keselamatan jiwa, kehormatan dan harta, maka siapapun pihak yang mengancam maka taqiyyah harus dilakukan. Selama mengancam keselamatan jiwa, maka tidak ada bedanya, yang melakukannya orang kafir atau muslim. Misalnya dengan adanya propaganda negatif dan beredarnya informasi yang salah mengenai Syiah secara massif, sehinga ada fatwa yang menyebutkan, salah satu amalan terbaik dalam melakukan taqarrub ilallah (pendekatakan kepada Allah Swt) adalah dengan menumpahkan darah orang Syiah, dan seorang muslim Syiah jika terjebak ditengah-tengah mereka, dan ketika ditanya, apa ia Syiah? Maka tidak ada akal sehat yang merestui, orang tersebut untuk menjawab lantang, “Ia saya Syiah, memang kenapa?”
Sejarah kekhalifaan Islam dari Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah, tidak sedikit dari deretan khalifah tersebut yang bertindak zalim dan memberlakukan mazhab/pemikiran tertentu untuk juga dianut dan diyakini oleh masyarakat muslim saat itu, yang jika menentang atau menolak maka akan dijebloskan dan disiksa di dalam penjara. Apa akal sehat menerima, karena yang memaksakan paham tertentu pada saat itu adalah penguasa muslim juga, maka taqiyyah tidak diperbolehkan? Yang dengan itu tidak menjadi soal muslim yang berbeda pemikiran mendapatkan siksaan dan ancaman penjara? Tentu akal sehat akan menolaknya.
Taqiyyah yang Diharamkan
Sudah dipaparkan secara singkat, mengenai dalil kebolehan taqiyyah, baik dari pertimbangan akal, Al-Qur’an maupun riwayat, maka pertanyaan selanjutnya yang muncul, apa semua bentuk taqiyyah diperbolehkan atau ada juga taqiyyah yang diharamkan?. Jawabannya tidak semua bentuk taqiyyah diperbolehkan, ada taqiyyah yang diharamkan. Taqiyyah menjadi haram jika seseorang atau kelompok yang jika dengan melakukan taqiyyah, kelangsungan dan kelestarian ajaran Islam atau mazhabnya menjadi terancam. Atau ketika melakukan taqiyyah, itu akan membawa keburukan bagi orang lain, keluarganya atau umat Islam secara umum. Contohnya sebagaimana kebangkitan Imam Husain As di padang Karbala ketika menghadapi pasukan Yazid yang dalam pengetahuan beliau, membiarkan kezaliman Yazid bisa mengancam kelestarian ajaran agama.
Demikian pula halnya, jika umat Islam mampu saling memahami dan menerima perbedaan yang terdapat dalam mazhab-mazhab Islam yang ada, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bahwa satu sama lain sesama muslim saling bertikai dan berpecah belah disebabkan perbedaan mazhab, maka taqiyyah dihadapan sesama muslim tidak diperlukan. Tentu saja hal seperti inilah yang kita harapkan, semua pengikut mazhab-mazhab yang ada bisa saling menghargai dan bekerjasama satu sama lain, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan mazhab.
Hanya Allahlah yang mengetahui siapa yang tersesat, dan siapa yang mendapat petunjuk…
Kesimpulan
Pertama, taqiyyah bukanlah bentuk dari kemunafikan, bukan pula kepengecutan, melainkan upaya mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam nyawa, kehormatan dan harta.
Kedua, taqiyah memiliki akar Qur’ani dan sunnah Nabawi serta pembenaran dari ulama-ulama Islam. Kalaupun disebut sebagai bentuk kedustaan, taqiyyah adalah kedustaan yang diperbolehkan, sehingga tidak semestinya diidentikkan sebagai milik kaum Syiah saja, melainkan bagian dari syariat Islam yang umat Islam boleh mengamalkannya ketika diperlukan.
Ketiga, taqiyyah tidak hanya diberlakukan ketika berhadapan dengan ancaman kaum kuffar melainkan juga dihadapan sesama muslim   demi menjaga keselamatan jiwa dan kehormatan karena adanya kelompok yang memiliki keengganan dan ketidakdewasaan sikap untuk menerima adanya perbedaan.
Keempat, taqiyyah diharamkan dalam kondisi kelangsungan ajaran agama terancam.  
Kelima, dalam kondisi umat Islam bisa saling memahami perbedaan yang terdapat diantara mazhab-mazhab yang ada, maka taqiyyah dihadapan sesama muslim tidak diperlukan.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
[Ismail Amin, Mahasiswa Program Studi Ulumul Qur’an Universitas Internasional al Mustafa, Republik Islam Iran]

Bahan Bacaan:  
Ayatullah Makarim Shirazi, Shiaa Answers, Penerbit Imam Ali bin Abi Thalib As, cet. 16, Qom, 1391 HS. (Bab Taqiyyah dalam Kitab dan Sunnah, hal. 33-45)
Sayyid Ridha Husaini Nasb, Syiah Pasukh Midahad (Syiah Menjawab), Penerbit Masy’ar, cet. Dar al Hadits, Qom, 1383 HS. (Pertanyaan 311, Apakah Taqiyyah itu?, hal. 211)
Tim Ahlul Bait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, Diterbitkan DPP ABI, cet. Pertama, Jakarta, 2014. (Bab II Tuduhan-tuduhan: Berdusta dengan Taqiyyah hal. 186)
Sumber: http://www.hpiiran.com/
Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -