Archive for 2015
Membantah Fitnah JONRU, di Iran Tidak Ada Shalat Jum'at
Kamis, 12 November 2015
Posted by ismailamin
Santer
tersebar informasi bahwa di Iran itu, tidak ada masjid yang menyelenggarakan
shalat Jum’at, karena pemerintah Iran yang Syiah melarang diadakan shalat
Jum’at. Terlebih lagi berita-berita seperti itu disebar secara massif oleh
situs-situs berita on line berlabel Islam namun isinya tendensius dan cenderung
negatif terhadap Republik Islam Iran. Benarkah demikian?
Sebagai
warga negara Indonesia yang sementara menetap di Qom, salah satu kota terkenal
di Iran, saya memberi kesaksian, memang benar, bagi warga Iran dilarang shalat
Jum’at di banyak masjid di satu kota yang sama. Kebijakan pemerintah Iran sebagaimana yang
ditetapkan oleh fatwa-fatwa ulama Mufti di Iran, ditetapkan shalat Jum’at harus
berpusat di satu tempat disetiap kota atau jarak minimal antara dua tempat yang
menyelenggarakan shalat Jum’at sejauh 1 farsakh [sekitar 3 mil]. Dengan adanya
ketentuan tersebut, menjelang penyelenggaraan shalat jum’at akan dimulai,
masjid-masjid yang tidak ditetapkan sebagai tempat shalat jum’at ditutup dan
dilarang beroperasi.
Di Tehran, shalat jum’at diselenggarakan di
lapangan besar Universitas Tehran, tiap pekan jutaan warga Tehran baik
laki-laki maupun perempuan membanjir sampai meluber kejalan-jalan raya untuk
mendengarkan khutbah dan shalat jum’at. Shalat Jum’at di Teheran diikuti oleh
pejabat-pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Iran dan juga kepala-kepala
kedutaan besar negara sahabat. Bagi tamu dari negara-negara asing disediakan alat receiver yang menerjemahkan bahasa persia ke Inggris atau Arab. Yang menjadi
khatib selain Ayatullah Sayid Ali Khamenei yang merupakan pemimpin tertinggi di
Iran, juga sejumlah ulama besar Iran lainnya yang saling bergantian tiap
pekannya, seperti Ayatullah Khatami, Ayatullah Jannati dan Ayatullah Siddiqi.
Di Qom sendiri, shalat Jum’at dipusatkan di
masjid Haram Sayidah Maksumah yang terletak di jantung kota Qom. 2-3 jam
sebelum shalat Jum’at dimulai, kompleks Haram Sayidah Maksumah telah mulai
didatangi ribuan jamaah. Sembari menanti masuknya shalat Jum’at, jamaah yang
telah terkumpul dan duduk rapi dishaf-shaf depan, akan disuguhi sejumlah orasi
politik maupun ceramah agama oleh pejabat negara ataupun muballigh-muballigh
terkenal Qom. Biasanya, jika ada ulama besar atau tokoh Islam dari negara lain
yang kebetulan berada di Qom baik dalam rangka sekedar berziarah atau menjadi
peserta pertemuan internasional, maka oleh pengelola masjid, ia akan diminta
menyampaikan ceramah sebelum khutbah Jum’at disampaikan. Penceramah tamu yang
pernah saya dengarkan nasehat keagamaannya di masjid Haram Sayyidah Maksumah
berasal dari Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Bahrain bahkan pernah juga dari
ulama Ahlus Sunnah yang berasal dari Iran sendiri.
Banyaknya jamaah yang tidak dapat ditampung oleh masjid, menjadikannya
jamaah shalat Jum’at meluber ke badan jalan raya. Diluar masjid, dipasang layar
besar, sehingga yang shalat dipelataran masjid bisa melihat penceramah layaknya
sedang menonton siaran televisi secara live. Khutbah Jum’at biasanya cukup
singkat, paling lama sekitar 15 menit saja, sebab jamaah telah sebelumnya
dikenyangkan oleh orasi politik dan penyampaian nasehat keagamaan oleh
pembicara-pembicara sebelumnya yang biasanya 2 sampai 3 orang.
Momentum shalat Jum’at di Iran, benar-benar
dijadikan media politik. Ratusan ribu sampai jutaan jamaah shalat Jum’at yang
hadir, tidak sedikit yang sembari membawa bendera, spanduk dan foto-foto Rahbar,
termasuk poster-poster yang bertuliskan kecaman terhadap AS dan Zionis. Tidak
jarang, sehabis shalat Jum’at dengan massa sebesar itu, jama’ah Jum’at sekalian
melakukan aksi unjuk rasa menyangkut isu-isu terkini. Shalat Jum’at di Iran,
tidak hanya dihadiri kaum pria, namun juga kaum perempuan.
Bukan saya sendiri WNI yang menjadi saksi atas
penyelenggaraan shalat Jum’at di Iran khususnya di kota Qom. Selain seratusan
teman-teman mahasiswa asal Indonesia lainnya yang juga sementara mukim di Qom, juga
sejumlah tamu yang saya dampingi untuk melihat langsung pelaksanaan shalat Jum’at
di masjid-masjid Iran yang spektakuler. DR. Abdurrahim Razak misalnya, dosen
Universitas Muhammadiyah Makassar, yang berada di Qom kurang lebih 20 hari
dalam rangka melakukan penelitian untuk bahan disertasinya mengenai Tafsir al
Mizan yang ditulis oleh mufassir dan filosof Iran, Allamah Husain Thabathabai
pada tahun 2011. Saya mendampingi beliau mengunjungi kota Masyhad, dan
menyempatkan shalat Jum’at di kompleks Haram Imam Ridha As. Ia tampak
terheran-heran ketika ditengah-tengah ceramah, ribuan warga Iran serentak
berdiri meneriakkan yel-yel yang sama sembari mengepalkan tangan, seperti yang
biasa tampak dalam aksi-aksi demonstasi di jalan-jalan. Tanpa diminta, saya
memberi penjelasan, “Mereka ini sedang meneriakkan, kecaman terhadap Amerika
Serikat dan Zionis Israel.” Ia menimpali, “Bukannya saat mendengarkan khutbah
Jum’at, kita harusnya khusyuk mendengarkan?”. Saya hanya menjawab, “Yang kita
dengarkan saat ini pak, bukan khutbah Jum’at melainkan orasi politik yang
mengecam kebijakan politik luar negeri AS yang anti Islam.” Beliau hanya
mengangguk tanda mengerti.
Saya juga pernah kedatangan tamu, Muhammad
Chozien Amirullah ketua umum PB
HMI [2009-2011] yang berada di Iran pertengahan tahun 2010 untuk menghadiri konferensi 6th Gathering of the Union of Islamic
World Students di Tehran. Disela-sela
kepadatan jadwal mengikuti agenda konferensi, ia menyempatkan diri ke Qom dan
bersilaturahmi ke kediaman saya sebagai sesama aktivis HMI. Ia menceritakan
betapa takjubnya ia berada ditengah-tengah lautan manusia saat menyelenggarakan
shalat Jum’at di Teheran. Ia berkata, ““Saya lebih melihat shalat jumat di
Teheran seperti shalat idul fitri di Indonesia yang terpusat di satu tempat. Dengan penyelenggaraan shalat Jum’at seperti itu, maka relevansi
shalat Jum’at sebagai ibadah politik benar-benar sangat saya rasakan.” Chozien
bahkan menuliskan pengalaman shalat Jum’at di Teheran tersebut yang disebutnya
sebagai forum rakyat untuk mengkonsolidasikan dan menjaga semangat revolusi
Islam, Tulisannya tersebut dimuat di situs resmi PB HMI dan disejumlah
blog-blog Islam.
Ada
beberapa tamu lagi yang sempat saya dampingi, turut merasakan gempitanya shalat
Jum’at di Iran. Mereka menggambarkan diri, seolah berada ditengah-tengah lautan
demonstran dan aksi unjuk rasa, yang dikomandai seorang korlap dengan orasi
yang berapi-api. Tidak semuanya masjid Iran yang bisa menyelenggarakan shalat
Jum’at tersebut, membuat Dahlan Iskan ketika baru tiba di Teheran dan tepat di
hari Jum’at menjadi kecele. Sebab masjid bandara yang didatanginya malah tutup
dan tidak ada shalat Jum’at disitu. Pengalamannya itu ditulis di media, dan
disalah artikan oleh sejumlah pihak dengan menyimpulkan, di Iran yang mengaku
negara Islam kok tidak ada shalat Jum’atnya?.
Pak
Dahlan Iskan menulis:
“Memang ada masjid di bandara itu tapi tidak
dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil
terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang
menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan di kota sebesar Teheran, ibukota
negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang
Jumat. Itu pun bukan di masjid tapi di universitas Teheran. Dari bandara
memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi
jaraknya lebih jauh lagi. Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan
di satu tempat saja di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara
ini?,” tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita kita mau Jumatan harus
ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah
lewat,” katanya.”
Dahlan Iskan menulis, DI NEGARA ISLAM IRAN,
JUMATAN HANYA DISELENGGARAKAN DI SATU TEMPAT SAJA DISETIAP KOTA BESAR…
Dari pengalaman yang dibagi itu, JONRU
mengambil kesimpulan:
“Dulu waktu pak Dahlan Iskan tiba di Iran pas di
saat jadwal shalat Jumat, dia merasa kesulitan karena tak ada yang shalat Jumat
di sana.
Aneh, bukan?
Masa negara Islam TAK ADA shalat jumatnya!”
Metode penyimpulan
seperti itulah, yang oleh Jonru disebutnya sedang menyampaikan kebenaran.
Sudahkah anda menyebar kebenaran versi Jonru hari ini?
Ismail
Amin, sementara menetap di Qom.
[Pernah
di muat di Majalah Itrah]
Foto2 berikut, penyelenggaraan shalat Jum’at di kota Esfahan yang dipusatkan di Maydan Imam Khomeini:
Kaidah Al-Qur’an ketika Seorang Mukmin Berhadapan dengan Orang Sesat
Selasa, 27 Oktober 2015
Posted by ismailamin
Pertama, menyampaikan nasehat, sebagaimana para Anbiyah As juga diutus
untuk menyampaikan nasehat dan peringatan…
“Aku menyampaikan amanat-amanat
Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu."
[Qs. Al A'raaf: 68]
Kedua, menyadari diri, bahwa kewajiban seorang mukmin hanya
menyampaikan nasehat dan peringatan… tidak memaksakan kehendak, apalagi sampai
bertindak kasar… baik secara verbal [hate speech/melontarkan kalimat2 ejekan,
hinaan dan hujatan] maupun tindakan…
Sesungguhnya kamu hanya memberi
peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah
mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. [Qs. Yaasiin: 11]
“Dan supaya aku membacakan Al
Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka
sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan
barangsiapa yang sesat maka katakanlah: "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain
hanyalah salah seorang pemberi peringatan." [Qs. An-Naml: 92]
Ketiga, tetap bersikap adil... sebesar apapun kebencian kepada
kesesatan seseorang atau kelompok lain, seorang Mukmin harus tetap mampu
bersikap adil. Bahwa jika menyampaikan kesesatan seseorang dihadapan publik
agar orang2 awam terhindar dari kesesatan tersebut harus disampaikan dengan
hujjah dan bukti2 yang kuat yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan diambil dari
khayalan, dongeng2, berita2 hoax dan informasi2 yang tidak jelas sumbernya,
hanya agar orang lain menjauh dari kesesatan. Kebencian tidak bisa menjadi
alasan bagi seorang Mukmin untuk tidak mempersembahkan keadilan. Kebencian
tidak lantas menjadi pembenaran bagi seorang Mukmin untuk tidak melakukan
tabayyun dan tidak mengklarifikasi terlebih dahulu setiap informasi yang
didapat.
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Qs.
Al-Maidah: 8]
Nah, setelah seorang Mukmin
memberi peringatan. Maka ada dua kemungkinan:
Pertama, yang bersangkutan menerima nasehat dan dakwah tersebut, dengan
menetapi jalan kebenaran. Untuk yang ini, kita ucapkan alhamdulillah, dan
melanjutkan bimbingan...
Kedua, yang didakwahi menolak nasehat tersebut, dan tetap pada
pendiriannya.
Bentuk penolakan ada dua:
Pertama, sekedar menolak dan tidak mau saja, tanpa memerangi.
Sikap Mukmin pada kelompok
pertama, adalah memberikan keleluasan untuk mereka mengamalkan keyakinan
sesatnya. Selama itu tidak menzalimi orang lain. Tidak ada hak bagi seorang
Mukmin untuk mengurusi dan mengintervensi pilihan keyakinan orang lain, hatta
keyakinan itu adalah menolak keberadaan Tuhan. Sebab seorang Mukmin tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
sesat. Yang dimintai pertanggungjawaban dari orang2 Mukmin, adalah bagaimana
caranya menyampaikan peringatan pada mereka yang sesat. Apakah dalam berdakwah
tetap sesuai dengan akhlak Islami, yaitu menyampaikan dengan hikmah, dan
berdialog dengan cara yang terbaik, atau menyampaikannya dengan cara yang
serampangan, kasar dan tanpa etika sama sekali. Tidak ada paksaan dalam agama,
adalah aturan Islam yang sangat tegas dalam hal ini...
Katakanlah: "Hai manusia,
sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu
barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk
kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya
kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga
terhadap dirimu." [Qs. Yunus: 108]
Ini nasehat Al-Qur’an, bahwa
keyakinan sesesat apapun, tidak akan memberi mudharat dan kecelakaan pada
orang2 yang telah mendapat petunjuk:
“Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; TIDAKLAH orang yang sesat itu akan memberi MUDHARAT kepadamu
apabila kamu TELAH MENDAPAT PETUNJUK. Hanya kepada Allah kamu kembali
semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Qs.
Al-Maidah: 105]
Jika ada orang2 Mukmin yang
mempropagandakan bahayanya suatu aliran sesat tertentu, sembari menakut-nakuti
masyarakat bahwa aliran sesat itu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu
diadakan aksi-aksi unjuk rasa, mengadakan seminar2 mengenai bahaya suatu aliran
tertentu tanpa hujjah yang jelas [hanya berdasar berita2 hoax, kabar2 bohong,
fitnah2 yang tidak berdasar dan dilakukan secara in absentia], dan membentuk
organisasi anti aliran ini, aliansi anti kelompok itu… maka sesungguhnya, itu
karena mereka tidak mendapat petunjuk saja… bisa jadi merekalah orang2 sesat
yang sesungguhnya…
Kedua, menolak sembari memerangi dakwah Islam.
Sikap Mukmin pada kelompok yang
kedua, adalah membalas memerangi. Syaratnya jika mereka memerangi terlebih
dahulu, dan menghalang-halangi umat Islam untuk mengamalkan keyakinannya.
“Karena itu jika mereka tidak
membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak)
menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah
mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka.” [Qs. An Nisaa': 91]
PATUT DIPERHATIKAN..
Bukanlah akhlak seorang Mukmin,
jika berhadapan dengan orang2 sesat untuk kelompok yang pertama [sekedar
menolak saja tanpa memerangi] untuk mengolok2, menghujat dan bermaksud untuk
melecehkan… sebab mengata-ngatai orang lain sesat adalah akhlak orang-orang
pendosa.
“Dan apabila mereka melihat
orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu
benar-benar orang-orang yang sesat", [Qs. Al Muthaffifin: 32]
Yang patut diperhatikan
selanjutnya, adalah selalulah berada dalam kondisi untuk senantiasa mencurigai
diri sendiri… jangan sampai merasa diri berada pada golongan orang yang
beriman, padahal ternyata termasuk diantara orang-orang yang sesat. Sebab
Syaitan itu senantiasa memperindah suatu perbuatan buruk, seolah2 yang
dilakukan adalah perbuatan yang benar. Jangan mudah menganggap orang lain
sesat, hanya karena berbeda dalam memahami. Sebab berbeda belum tentu sesat.
Seorang Mukmin akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah yang Maha
Mengetahui, untuk urusan yang tidak dia kuasai sepenuhnya…
Oleh karena itu, dalam hal ini sangat
diperlukan ilmu, dan wawasan yang luas, sebelum ikut2an memberi vonis pada
orang lain bahwa mereka sesat dst… harus ada informasi yang berimbang yang
didapatkan… tidak cukup hanya mendapatkan informasi dari satu pihak, namun
telah memvonis pihak lain sesat dan bukan Islam….
Hanya Allah Swt yang paling
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk, siapa yang sesat… jangan sampai kita
termasuk orang-orang yang tertipu…merasa diri benar, sementara dalam penilaian
Allah Swt, justru termasuk orang-orang yang sesat…
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling
Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Qs. Al-Qalam: 7]
Untuk itulah, Allah Swt memerintahkan
orang2 Mukmin untuk membaca ini dalam shalatnya:
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
[Qs. Al-Fatihah: 6-7]
Bayangkan, kita diminta untuk
membacanya setidaknya 17 kali dalam sehari semalam di dalam 5 waktu shalat2
kita.. artinya, betapa pentingnya senantiasa mencurigai diri, bahwa belum tentu
kita sudah termasuk yang mendapat petunjuk, sehingga harus selalu memintanya
setiap shalat...
Allahu al-Musta’an…. semoga kita
senantiasa termasuk dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan dijauhkan
dari kesesatan…
Qom, 27 Oktober 2015
[Ismail Amin]
Kalau sejumlah kaum muslimin di Negara lain
menyambut kedatangan bulan Muharram dengan bersuka cita dan saling mengucapkan
selamat akan bergantinya tahun, masyarakat Iran justru melarutkan diri dalam majelis-majelis
duka. Bulan Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab Syiah adalah
bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan yang menggoreskan kenangan akan
peristiwa paling pahit dalam sejarah Islam.
Karena itu, bergantinya tahun hijriah yang
seringkali dijadikan momen untuk bergembira dan saling mengucapkan selamat,
tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga Iran. Rasa belasungkawa akan
syahidnya Imam Husain As beserta keluarga dan sahabatnya yang terbantai di
Karbala mereka tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang mereka
kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul bendera hitam, ornamen-ornamen yang
dipasang di tepi-tepi jalan, masjid dan tempat-tempat umum yang berisi pesan
duka Asyura, termasuk mencat mobil-mobil mereka dengan tulisan Husain, Zainab,
Ali Asghar, Aba al-Fadhl dan nama tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.
Secara resmi, warga Iran memperingati peristiwa
Asyura selama sepuluh hari berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10 Muharram.
Hari kesembilan dan hari kesepuluh dijadikan hari libur nasional. Selama
kesepuluh hari tersebut, setiap sehabis shalat Isya berjama’ah, diadakan
majelis-majelis duka. Ratusan warga berbondong-bondong memadati masjid-masjid
dan Husainiyah tempat diadakannya majelis-majelis duka tersebut. Acara dibuka
dengan tilawah al-Qur’an dan dilanjutkan dengan ceramah agama yang berisi
pesan dan hikmah dari kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain As beserta keluarga
dan sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib menyampaikan ceramahnya, tidak
jarang terdengar suara isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa kematian Imam
Husain As meski sudah berlalu 1400 tahun lalu, namun bagi mereka tampak
seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Setelah mendengarkan ceramah,
lampu-lampu dipadamkan, dan hanya menyisakan sedikit cahaya. Dalam suasana
nyaris gelap itu, seseorang tampil untuk membacakan maqtal atau syair-syair
duka. Pada prosesi ini, para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan
mengiringi kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada. Suasana
haru semakin menyeruak setiap disebutkan nama al Husain. Diakhir acara, panitia
akan membagikan kotak makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung
selama sepuluh malam berturut-turut.
Dalam majelis ini tidak adegan melukai diri,
tidak ada aksi memukul badan dengan benda tajam hingga berdarah-darah.
Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman melukai diri apalagi sampai
berdarah-darah dalam memperingati hari Asyura. Fatwa itupun menjadi hukum
postif bagi kepolisian Iran untuk membubarkan dan menangkapi mereka yang
melakukan aksi melukai diri dalam majelis Husaini. Sayang,
karena perbuatan segelintir Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih
juga memperingati Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah pun diidentikkan
dengan perbuatan irasional tersebut. Patut diketahui, kalau memang melukai diri
dianggap ibadah yang afdhal dilakukan pada peringatan Asyura, maka yang
paling pertama melakukannya adalah ulama-ulama dan kaum terpelajar dari
kalangan Syiah, dan itu harusnya bermula dari Iran, sebagai sentral keilmuan
penganut Syiah. Faktanya, tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada
justru memfatwakan keharamannya. Dan kalau memang itu sudah menjadi bagian dari
tradisi Syiah, maka tentu jumlah orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih
banyak dari yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa, dan itu
hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.
Mengenang Ali Asghar
Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh hari awal
Muharram itu, diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar, putra Imam
Husain As yang masih berusia beberapa bulan namun turut menjadi korban
kebengisan tentara-tentara Yazid. Dikisahkan, bayi Imam Husain As tersebut
dalam kondisi kehausan, sebab sumber mata air berada dalam penguasaan tentara
Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain untuk mengambil airnya barang
setetes pun. Kasihan dengan bayinya yang merengek kehausan, Imam Husain As pun
memeluk dan menggedongnya. Beliau menghadap pasukan Yazid untuk diizinkan
mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya tersebut, sembari
memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik kehausan. Bukannya iba, seorang
tentara Yazid malah melezatkan anak panah yang tepat mengenai leher bayi Imam
Husain As tersebut, yang kemudian mati seketika dipelukan ayahnya.
Kejadian tragis ini secara khusus diperingati
pada hari Jum’at pertama bulan Muharram. Ribuan ibu dengan bayi-bayinya yang
berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih lengkap dengan surban dan
ikat kepala yang bertuliskan Ali Asghar, memadati masjid-masjid dan tanah-tanah
lapang. Ditempat itu mereka mendengarkan ceramah khusus mengenai kisah
kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya hati Imam Husain As melihat kematian
bayinya yang tragis di pelukan sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai
muslim dan pengikut Nabi Muhammad Saw. Suasana haru dan emosional tidak
terhindarkan ketika kisah yang menyayat hati itu kembali disuguhkan. Ibu-ibu
tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing sembari
membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam Husain melihat bayinya tergeletak
tanpa nyawa. Dalam acara ini tidak ada adegan orangtua mengiris bayinya dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar untuk merasakan kepedihan Imam Husain. Foto yang beredar di media sosial yang menggambarkan kepala seorang anak yang berdarah-darah karena dilukai oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu adalah kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru mendapat kecaman dari ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa menjadi representatif semua Syiah pasti melakukan itu.
Pada hari kesembilan Muharram -yang dikenal
juga dengan sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh –dikenal dengan
sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur nasional, jalan-jalan raya
dipadati oleh ribuan warga dengan pakaian serba hitam yang berjalan kaki. Disepanjang
jalan, terdapat posko-posko yang menyediakan minuman panas dan makanan ringan
secara gratis. Satu-dua jam menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga
kantor-kantor resmi ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia. Ditempat-tempat
itu mereka berkumpul untuk menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama.
Suara isak tangis yang tak tertahan terdengar
dimana-mana disaat khatib menyampaikan detik demi detik proses terbantainya
Imam Husain As di Karbala. Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan
sayatan pedang ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan pedang dipisahkan
dari tubuhnya. Tangisan mereka dengan tragedi memilukan yang menimpa cucu Nabi
Muhammad Saw tersebut bukan untuk menyesal atas apa yg telah terjadi melainkan
upaya merawat dan menjaga ingatan dan kenangan atas perjuangan dan pengorbanan
keluarga Nabi dalam menjaga eksistensi agama ini. Bangsa kita juga punya
tradisi yg sama dalam mengenang pengorbanan para pahlawan bangsa? ada upacara
bendera, ada hening cipta, ada ziarah kemakam pahlawan, ada pembuatan film
perang melawan penjajah, ada pementasan drama, ada pembacaan puisi dan
seterusnya. Yang tentu tujuannya bukan untuk mengorek luka sejarah,
bukan pula untuk menyimpan dendam, melainkan untuk menghidupkan semangat
kepahlawanan, patriotisme dan pengorbanan para pejuang terdahulu supaya
generasi sekarang juga punya smangat yang sama.
Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain
bukanlah tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru membakar semangat
perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan sebagaimana yang
diwariskan Imam Husain As melalui tragedi Karbala. Rakyat Iran menyodorkan
bukti, bahwa bermula dari tangisan itulah, revolusi besar yang mengubah takdir
Iran dengan menjungkalkan rezim Shah Pahlevi telah mereka rancang dan ledakkan.
Imperium Persia yang berusia 2.500 tahun beralih menjadi Republik Islam,
dimulai dari tangisan mengenang al Husain.
Ismail Amin, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Universitas Internasional al Mustafa Qom Republik Islam Iran
Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya, al Hasan. Sebagaimana abangnya, namanya juga adalah pemberian Allah Swt melalui malaikat Jibril As yang meminta Nabi Saw menyebutnya al Husain, yaitu Hasan kecil. Dihari ketujuh kelahirannya, sebagaimana juga abangnya, dia diaqiqah dengan sembelihan satu ekor kambing.
Para sahabat sang Kakek juga turut merasakan kebahagiaan akan kelahirannya. Dalam mazhab Syiah dan juga Maliki, aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, masing-masing dengan sembelihan satu ekor kambing. Islam yang datang dengan doktrin laki-laki dan perempuan sama derajatnya, mustahil membeda-bedakan laki-laki dan perempuan justru dihari-hari awal kelahirannya. Suka cita dalam penyambutan kelahiran anak, sama, anak laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Islam datang justru hendak merombak tradisi yang membeda-bedakan anak laki-laki dengan perempuan.
Masa kecil al-Husain diliputi kebahagiaan dan keceriaan masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi Saw ketika menceritakan tentang al Husain, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat al Husain itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih, saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husain.
“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.”
“Kenapa?”
“Kami tidak mencium anak laki-laki.”
“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut rasa sayang dari hatimu.”
Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama al Husain. Bahkan diwaktu sedang memimpin jamaah shalat sekalipun. Al Husain dan abangnya berkejaran diantara kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud, keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya, Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya menyelesaikan keinginannya.”
Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik bermain dengan kedua cucunya. Al Husain dan al Hasan naik dipunggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”
Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena baju yang dipakai al Husain kepanjangan, ia menginjaknya sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin al Husain terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang disampaikannya.
Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat, begitu besar kecintaanmu pada al Husain.” “Iya, al Husain dari aku, dan aku dari al Husain. Mencintai aku siapa yang mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.” Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabipun berlomba-lomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada al Husain.
Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sahabat-sahabatnya, al Husain dan al Hasan segera berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada ibunya, Fatimah az Zahra. Begitu Imam Ali datang dan hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah disampaikan Nabi tadi, Sayyidah Fatimah segera memotong, “Sudah saya tahu.”
Imam Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”. Sang Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya yang cekikan senang.
Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun caranya salah. Al Husain dan al Hasan melihat kejadian itu. Al Husain segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”
Al Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang menjadi jurinya?” Al Husain pun meminta kepada kakek yang hadir disitu.
“Kek, siap jadi juri ya..”
Sang kakek mengiyakan.
Keduanyapun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling benar.
Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar. Saya yang salah.”
Al Husain sukses memberitahu cara wudhu yang benar kepada si kakek, tanpa merasa digurui.
Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek sudah sedemikian risaunya.
Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi Nabi itu?. Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari penunggang Nabi itu? Tahukah kau apa yang terjadi dengan leher dan bibir al Husain yang sering dikecup oleh Nabi itu?
Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya ditusuk-tusuk pedang.
Ketika kepala al Husain yang telah terpisah dari tubuhnya dibawa kehadapan Yazid. Yazid memukul-mukul batok kepala itu dengan tongkat, dan mempermain-mainkan bibir di kepala itu.
Sahabat-sahabat Nabi yang telah tua renta histeris melihat kejadian itu.
“Hentikan wahai Yazid, aku melihat dengan mata kepala sendiri, bibir itu sering diciumi oleh Nabi.”
Kau mungkin tidak tahu banyak mengenai itu, sebab cerita yang kau dapati tentang al Husain, dia yang sedang tertawa senang sedang menunggangi Nabi, kakeknya.
Hanya itu… seolah-olah al Husain, hanyalah cucu Nabi, yang sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam kegembiraan masa kanak-kanak.
Mana masa muda al Husain, yang diminta ayahnya untuk melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa muda al Husain yang ikut membela ayahnya dalam perang-perang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir al Husain, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya?
Nabi bersabda tentangnya, “Al Husain adalah pemimpin pemuda di surga…”
Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu dikubur?
Secuil itukah yang kau tentangnya?
10 hari pertama Muharram, berusahalah tahu banyak tentang, kau akan mengenal agama ini lebih dekat...
Qom, 1 Muharram 1437 H